Sabtu, 12 Januari 2013

GEOGRAFI DAN PEMBANGUNAN (SEBUAH ULASAN DARI BUKU “ANALYTICAL URBAN GEOGRAPHY”)



Terkait masalah perkotaan, terdapat sebuah konsep yang dipahami mengenai evolusi sebuah perkotaan. Untuk mencapai “kota masa depan” perlu adanya sinergisitas dari sebuah sistem perkotaan. Sistem perkotaan yang dimaksud mencakup sistem kotanya dan struktur internal kota tersebut. Untuk mencapai dua hal yang saling sinergis antara sistem dan struktur yang
 terdapat di dalam sebuah kota ditunjang oleh dua hal yaitu; Intervensi Pemerintahannya dan adanya faktor luar yang mendukung. Intervensi Pemerintahan biasanya diakomodir melalui lembaga pemerintahan yang menangani masalah perkotaan, yang mencakup berbagai usaha untuk menangani interaksi antara aktivitas dari penduduk lokal dengan rencana kerja terkait perkotaan. Berhubungan dengan masalah geografi, hal ini bisa dianalogikan dengan, misalkan; pemerintah melalui departemen yang menangani masalah perkotaan menggunakan pembagian zona wilayah dan standar polusi lingkungan sebagai pertimbangan dalam pendistribusian dan pengkategorian  dari berbagai aktivitas di kawasan kota tersebut. Terkait faktor luarnya, berbagai fenomena seperti bencana alam, kebijakan sosial ekonomi dan masalah negara lain merupakan sebuah kontrol terhadap sistem perkotaan.
Konsep perencanaan perkotaan terkesan tumpang tindih karena melibatkan wawasan teoritis yang dihubungkan dengan berbagai masalah perkotaan, seperti; fragmentasi pemerintahan, program pembaharuan kota dan kemacetan lalu lintas. Berbagai pemasalahan yang terjadi tersebut merupakan bagian dari konsep geografi perkotaan yang meliputi tiga dimensi, yaitu; pendekatan positivis, pendekatan tingkah laku, dan pendekatan strukturalis. Pada pendekatan positivis, mengacu kepada hal – hal yang berkaitan kepada ilmu pengetahuan alam dan bentuk dasar dari berbagai metode ilmiah. Sedangkan, pada pendekatan tingkah laku buka terfokus pada manifestasi spasial yang mempengaruhi karakteristik kota tersebut, tetapi lebih terkait proses yang bertanggung jawab pada karakteristik atau tingkah laku perkotaan tersebut. Pendekatan strukturalis lebih kepada bentuk peran lembaga struktural atau pemerintah kepada masalah perkotaan.
Masalah perkotaan terkait fragmentasi pemerintahan ialah sebagai berikut:
  1. Terdapat perbedaan yang besar antara hasil sumber daya dan pengeluaran dari setiap unit pemerintahan yang berbeda di kota besar, misal; antara Jakarta Selatan dan Jakarta Utara.
  2. Pelayanan sosial, seperti fasilitas air, Rumah Sakit,  parkir, perpustakaan yang saling tumpang tindih di setiap wilayah administrasi, karena sulitnya mengkoordinasikan kebijakan dan kebutuhan wilayah masing – masing. Terkait permasalahan tersebut, perlu adanya usaha yang bertanggung jawab untuk menyelesaikannya.

Ada dua hal yang disarankan oleh Honey (1976), bahwa harus ada upaya bersama yang sinergis antara pemerintahan pusat maupun wilayah administrasinya. Dari sisi pemerintahan pusat kota yaitu:

  • pemerintahan pusat seharusnya melanjutkan dan meningkatkan usaha pemberdayaan sumber daya di pemerintahan wilayah administrasi untuk menunjang pendapatan pemerintahan pusat kota.
  • membagi pendapatan  tersebut untuk kota metropolitan, 
  • ialah membantu dan mengembangkan berbagai sektor kuat di daerah metropolitan, dan 
  • ialah, membentuk kebijakan ‘national land’ untuk mencegah penggabungan individu area metropolitan.

Upaya yang harus dilakukan oleh pemerintahan wilayah administrasi, menurut Honey (1976) ialah:
  1. memberikan bantuan keuangan untuk pemerintahan kota metropolitan.
  2. membuat bentuk partisipasi pemerintahan local pada rencana kerjanya.
  3. membuat prosedur terkait amalgamasi, inkorporasi dan aneksasi area perkotaan,
  4. ialah bekerja sama secara kelembagaan dan membuat perencanaan mengenai area kota metropolitan.

Seiring dengen peningkatan arus modenisasi dan perkembangan zaman terdapat berbagai hal yang terkait dengan masalah sosial lingkungan yang terjadi di kawasan perkotaan, antara lain, persebaran penduduk dan asimilasi penduduk. Terkait dengan isu sosial lingkungan tersebut bisa dianalisis melalui dua metode analisis, yaitu; analisis area sosial dan faktor ekologi. Pada metode analisis area sosial, dampak dari peningkatan arus modernisasi dan perkembangan zaman ini terkait dengan pertumbuhan lingkungan industri. Manusia secara berangsur – angsur mandiri secara kehidupan ekonomi dengan adanya spesialisasi pada pekerjaannya dan perkembangan teknologi transportasi yang mempengaruhi perubahan pola baru pada kehidupan sosial masyarakat. Pola baru tersebut menyebabkan diferensiasi sosial.

Diferensiasi sosial pada masyarakat perkotaan disebabkan oleh tiga hal,yaitu;
  • status ekonomi, dengan meningkatnya status  tingkat pekerjaan, maka status pekerjaan pun menjadi berkembang, sehingga menimbulkan stratifikasi sosial pada masyarakat.
  •  Status Keluarga, makna keluarga menjadi tidak begitu penting dibandingkan dengan usaha dalam peningkatan tingkat ekonomi keluarga,
  • Etnis, perkembangan teknologi transportasi menghasilkan mobilitas yang tinggi, dan kebebasan masyarakatnya untuk memilih dimana akan tinggal di kawasan perkotaan tersebut sehingga mempengaruhi persebaran populasi masyarakat menurut etnis dan kelompok ras.

Menurut metode faktor ekologi, diferensiasi sosial masyarakat perkotaan berhubungan dengan pola spasial. Pola spasial tersebut terbagi menjadi tiga faktor yang mempengaruhi, yaitu;
  1. Status Sosial ekonomi, dari hasil sensus penduduk, masyarakat terbagi menjadi dua kelompok yaitu kelompok masyarakat dengan status sosial ekonomi yang tinggi dari segi pendapatan dan pendidikan maupun masyarakat dengan status sosial ekonomi rendah.
  2. Status Keluarga, pengkategoriannya ialah keluarga kecil, keluarga ‘single-person’, keluarga besar.
  3. Status Etnis membentuk sebuah ‘cluster‘, sesuai dengan kelompok etnisnya menurut negara , maupun pulau. Dari setiap faktor tersebut membentuk sebuah mozaik perkotaan. Setiap bagian mozaik menggambarkan karakteristik setiap wilayah.

Pola mobilitas masyarakat perkotaan bisa dikategorikan menjadi dua hal, yaitu; pola jangka panjang dan pola jangka pendek (harian). Di masyarakat perkotaan, pola yang terjadi seringkali merupakan pola mobilitas masyarakat harian karena masyarakat perkotaan memiliki mobilitas yang sangat tinggi. Mobilitas penduduk harian masyarakat perkotaan bisa dijelaskan dengan beberapa faktor; yaitu,
  • lokasi pekerjaannya, seringkali pekerja di kota besar bukan merupakan penduduk kota tersebut, bisa jadi ia tinggal di wilayah sekitar perkotaan (misal; jika mengambil contoh kota besarnya Jakarta, ia tinggal di depok); 
  • Perjalanannya, mobilitas penduduk perkotaan seringkali mempertimbangkan faktor jarak tempuh, biaya perjalanan, dan lama waktu tempuh; 
  • Transportasi pribadi, penduduk perkotaan yang memiliki kendaraan pribadi mempertimbangkan fasilitas parkir di dekat tempat bekerjanya, serta biaya parkirnya.
  • Transportasi publik, di daerah perkotaan banyak terdapat alat transportasi publik adalah sesuatu yang sudah harus ada untuk menunjang mobilitas penduduknya yang tinggi, 
  • Status Sosial Ekonomi, tingkat sosial ekonomi mempengaruhi penggunaan pola transportasi yang dipakai oleh masing – masing penduduk, untuk masyarakat dengan tingkat sosial ekonomi tinggi cenderung menggunakan kendaraan pribadi dibandingkan dengan masyarakat dengan tingkat sosial ekonomi rendah yang cenderung menggunakan fasilitas transportasi publik, seperti; bus, kereta api listrik, ojek dan lain – lain.
Berbeda dengan mobilitas harian, banyak hal yang mempengaruhi penduduk untuk melakukan mobilitas jangka panjang (menetap). Diantaranya, mengenai tingkat stress penduduk. Umumnya di daerah perkotaan cenderung memiliki tingkat stress yang tinggi karena adanya tuntutan ekonomi dan spesialisasi pekerjaan yang semakin rumit. Hal ini menyebabkan penduduk ingin mencari tempat tinggal yang nyaman. Selain itu mereka juga butuh fasilitas rekreasi untuk menghilangkan rasa stress yang dirasakan, maka tidak mengherankan jika setiap akhir pekan masyarakat perkotaan memenuhi daerah pinggiran ataupun daerah desa untuk melepaskan rasa stress di hari kerja.
Selain itu keputusan melakukan mobilitas penduduk ialah dari segi lingkup lokasi serta fasilitas yang ada. Lokasi yang strategis dengan fasilitas yang lengkap cenderung akan banyak dipilih sebagai tempat tinggal, karena karakteristik penduduk perkotaan yang memiliki mobilitas tinggi, sehingga pola pikir mereka terbiasa dengan hal – hal yang instan. Berbagai kemudahan yang ada di suatu wilayah merupakan daya tarik tersendiri bagi mereka. Jenis orang – orang yang tinggal disana pun menjadi pertimbangan dalam pengambilan keputusan dalam melakukan mobilitas. Penduduk perkotaan cenderung memilih wilayah yang tipe kelompoknya sama dengan diri/ keluarganya. Hal tersebut memudahkan mereka dalam beradaptasi dan melakukan segala aktivitas mereka nantinya.